Memaafkan Diri Sendiri
Memaafkan, Jalan Sunyi Menuju Kedamaian
Salah satu kunci hidup tenang adalah memperbanyak memaafkan. Memaafkan apa? Apa pun. Memaafkan keadaan yang tidak sesuai harapan, memaafkan orang lain yang menyakiti kita, dan yang paling berat namun paling penting—memaafkan diri sendiri.
Hidup ini penuh luka dan kecewa. Kadang, bukan karena orang lain semata, tapi karena ekspektasi kita sendiri yang terlalu tinggi. Kita menyalahkan diri karena keputusan yang salah, karena kesempatan yang terlewat, karena dosa-dosa yang terasa menggunung. Namun, terus-menerus menyiksa batin hanya akan menjauhkan kita dari rahmat Allah yang luas.
Islam mengajarkan bahwa memaafkan bukan hanya amalan sosial, tetapi juga ibadah ruhani. Memaafkan bukan bentuk kelemahan, tapi tanda kekuatan jiwa. Allah berfirman:
وَلۡيَعۡفُوا وَلۡيَصۡفَحُوٓا۟ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur: 22)
Ayat ini turun dalam konteks peristiwa besar—fitnah terhadap Aisyah radhiyallahu 'anha. Tapi pesan moralnya sangat dalam dan luas: jangan biarkan luka dan dendam merusak jiwamu. Memaafkan bukan karena mereka layak mendapatnya, tapi karena kita ingin Allah memaafkan kita.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan keutamaan memaafkan dengan perilaku yang nyaris tak tertandingi. Beliau bersabda:
"مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ"
"Tidaklah sedekah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim)
Lihatlah, betapa dalam nilai spiritual dari memaafkan. Ia bukan sekadar menyenangkan hati orang lain, tapi jalan untuk mengangkat derajat kita di sisi Allah.
Namun ada satu sisi yang sering dilupakan: memaafkan diri sendiri. Tak jarang kita terjebak dalam rasa bersalah, dalam penyesalan, dalam trauma masa lalu. Kita ingin memutar waktu, memperbaiki semuanya, namun tak bisa. Maka yang bisa kita lakukan adalah menerima bahwa kita manusia—tempatnya salah dan lupa.
قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
"Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Allah tidak memerintahkan kita untuk menyiksa diri karena masa lalu. Dia memerintahkan kita untuk kembali, bertobat, lalu melanjutkan hidup dengan lebih baik. Sebab ampunan Allah itu lebih besar dari semua dosa yang pernah kita lakukan.
Memaafkan bukan tentang melupakan, tapi tentang tidak lagi membiarkan luka itu menguasai kita. Ia adalah bentuk pembebasan batin, bentuk penyucian hati, bentuk perlawanan terhadap bisikan dendam dan amarah. Dan itu butuh latihan.
Mulailah dari hal sederhana: maafkan orang yang pernah menyakiti meski mereka tak pernah meminta maaf. Maafkan keadaan yang tak bisa kau ubah. Maafkan dirimu yang pernah bodoh, pernah lalai, pernah lemah. Lalu, berdoalah...
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الْمَرْحُومِينَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
"Ya Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang suka memaafkan sesama, dan jadikan kami termasuk hamba-Mu yang Kau rahmati di dunia dan akhirat."
Ketahuilah, setiap kali engkau memaafkan, langit bersaksi bahwa hatimu semakin lapang dan jiwamu semakin dekat dengan Sang Maha Pengampun.
Dan di situlah ketenangan itu tumbuh, perlahan, namun pasti.
Komentar
Posting Komentar