Jadilah Bermanfaat

Sebaik-Baik Manusia Penuh Manfaat


Manusia tidak dilahirkan untuk hidup sendiri. Kita adalah makhluk sosial yang terikat satu sama lain dalam jaringan kebaikan. Keberadaan kita bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk memberi arti bagi sesama. Menjadi manusia terbaik bukan soal kekayaan, tapi seberapa besar manfaat kita bagi orang lain dengan ilmu, tenaga, nasihat, atau bahkan sekadar senyuman.

Tidak semua orang mampu menjadi dermawan dengan harta, namun setiap orang bisa menjadi manusia yang bermanfaat. Islam tidak membatasi bentuk kebaikan pada nilai materi. Rasulullah ﷺ memberikan definisi terbaik tentang siapa manusia yang paling mulia dalam pandangan Allah dan masyarakat.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, dan ad-Daruquthni)

Hadis ini sederhana namun dalam maknanya. Ia menegaskan bahwa nilai kemuliaan manusia tidak terletak pada titel, jabatan, atau simpanan kekayaan, melainkan pada sejauh mana ia memberi dampak positif kepada orang lain. Memberi manfaat bisa dalam bentuk fisik seperti membantu tetangga membangun rumah, dalam bentuk nasihat yang menentramkan hati yang gundah, atau bahkan sekadar menyapa dengan wajah ramah.

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ memuji orang-orang yang berbuat baik dengan segala yang dimilikinya:

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan adalah bentuk syukur atas nikmat yang Allah berikan. Jika kita diberi kekuatan fisik, maka gunakan untuk membantu yang lemah. Jika kita diberi ilmu, sebarkan untuk menghilangkan kebodohan. Jika kita memiliki kedudukan, gunakan untuk membela yang terpinggirkan. Kebaikan itu luas, dan setiap orang punya jalan untuk melakukannya.

Kebaikan yang sederhana pun bisa menjadi pemberat amal di hari kiamat. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Lindungilah dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan (sedekah) setengah butir kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, meskipun kita tak memiliki banyak, tetap ada jalan untuk memberi manfaat. Bahkan sekadar senyum bisa menjadi sedekah. Rasulullah ﷺ bersabda:

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)

Maka jangan remehkan kebaikan kecil. Menyediakan waktu untuk mendengarkan curhat seorang teman yang sedang gundah, mengirim pesan motivasi di pagi hari, atau menahan lidah dari menyakiti, semuanya adalah bagian dari menjadi manusia yang bermanfaat.

Allah juga berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)

Dalam konteks sosial, manusia yang paling dirindukan kehadirannya adalah mereka yang membawa cahaya di tengah kegelapan. Ia tidak hanya hidup untuk dirinya, tetapi menjadikan hidupnya sebagai solusi bagi masalah orang lain. Inilah esensi dari “anfa’uhum linnas”.

Namun tentu, keikhlasan menjadi kunci. Amal yang besar tapi riya takkan sampai ke langit. Tapi amal yang kecil dengan hati yang bersih, akan dilipatgandakan nilainya. Allah berfirman:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Ini adalah potret orang-orang beriman sejati: memberi bukan karena ingin dipuji, tetapi karena cinta pada Allah dan makhluk-Nya. Memberi manfaat bukan proyek citra, melainkan refleksi dari hati yang telah tercerahkan oleh iman.

Di era sekarang, menjadi manusia bermanfaat bisa dilakukan dengan banyak cara: membagikan ilmu di media sosial, ikut kerja bakti membersihkan lingkungan, menyumbang ide dan gagasan, atau bahkan menjadi pendengar yang baik bagi yang sedang terpuruk. Dunia digital memberi lebih banyak ruang untuk berbagi kebaikan. Kita bisa menulis artikel yang mencerahkan, menyebarkan kutipan inspiratif, atau sekadar tidak menyebar hoaks dan fitnah. Semua itu bagian dari kontribusi kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan saling mendukung.

Ibnu Qayyim berkata, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling besar manfaatnya untuk hamba-hamba-Nya.” Maka mari kita berlomba-lomba menjadi manusia yang tidak sekadar baik dalam ritual, tetapi juga dalam relasi sosial.

Akhirnya, marilah kita bercermin: apakah hari ini kita sudah memberi manfaat kepada orang lain? Apakah kehadiran kita dirindukan atau justru dihindari? Jangan sampai umur habis tanpa jejak kebaikan. Karena yang dikenang dari seorang insan bukan hartanya, tapi apa yang telah ia tanam di hati manusia lain.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan khairunnas, dan menerima setiap amal kecil kita sebagai bekal menuju surga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN

Perkecil Circlemu

Bipolar Dan Kopi