Menjaga Keikhlasan
Kyai Yang Menolak Amplop
Tak semua orang mampu menjaga keikhlasan hati saat menerima pemberian, terlebih ketika seseorang diberi karena posisinya sebagai tokoh agama. Namun, sebagian kyai memiliki cara unik dalam menyaring niat, agar jangan sampai ibadah terkotori oleh dunia. Narasi ini mencoba menyusuri keteguhan batin seorang kyai yang memilih menolak segala bentuk pemberian, demi menjaga kemurnian niat dan doa.
Dalam dunia pesantren, kisah-kisah tentang para kyai yang hidup dalam kesederhanaan sering menjadi sumber inspirasi sekaligus cermin keteladanan. Tak sedikit dari mereka yang menolak pemberian, sekalipun dalam bentuk yang seolah-olah tak berbahaya seperti gula, kopi, jajan, apalagi amplop berisi uang. Mereka bukan tak paham adab memberi dan menerima, tetapi karena hati mereka selalu siaga terhadap masuknya kepentingan dunia ke dalam urusan akhirat.
Di antara mereka, ada seorang kyai sepuh dari daerah selatan Jawa, sebut saja Mbah Kyai Umar, yang dikenal sangat tegas dalam urusan menjaga keikhlasan. Beliau dikenal masyarakat luas sebagai sosok yang anti amplop. Setiap kali ada jamaah yang datang meminta doa dan berniat memberikan amplop sebagai rasa terima kasih, beliau selalu menolak sambil tersenyum. "Gak usah, gak usah... marai bledru iki engko," ujar beliau sambil terkekeh, dengan logat Jawa yang khas. Ungkapan itu menunjukkan bahwa beliau khawatir jika pemberian itu justru mengurangi keberkahan doa yang dipanjatkan.
Dalam satu kesempatan, seorang tamu datang dari luar kota membawa air mineral dan berharap bisa didoakan agar anaknya segera sembuh dari sakit. Setelah doa dibacakan, sang tamu menyelipkan amplop, namun Mbah Kyai segera berkata lembut, "Boten usah, marai boten mandhi niku mangke," yang artinya, “Tak usah, nanti air doanya justru tak manjur.” Ucapan itu bukan sekadar basa-basi, melainkan refleksi dari laku batin yang sudah matang dan melepaskan diri dari urusan duniawi yang fana.
Sikap seperti ini sejatinya bukan hanya soal menolak pemberian, tetapi tentang menjaga niat. Rasulullah ﷺ telah memberikan rambu-rambu yang tegas dalam urusan ini. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi fondasi kuat bagi siapa pun yang ingin meniti jalan keikhlasan, terlebih bagi para ulama yang menjadi tempat umat berguru dan bergantung. Bila niat orang yang memberi tidak selaras dengan keikhlasan, maka dikhawatirkan pemberian itu menjadi sebab pudarnya berkah.
Allah ﷻ juga menegaskan dalam Al-Qur'an tentang pentingnya memberi tanpa menyakiti dan tanpa niat riya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al-Baqarah: 264)
Mbah Kyai Umar barangkali membaca ayat ini dengan mata hati. Beliau ingin menjaga agar hubungan batin antara dirinya dan Allah tetap jernih, tanpa perantara amplop yang bisa merusak niat. Bukan berarti beliau mencurigai semua pemberian, tetapi karena beliau tahu bahwa menjaga hati lebih penting daripada menerima hadiah.
Namun, tidak semua kyai menolak pemberian. Ada pula yang menerimanya, seperti Kyai Abdul Karim, salah satu sahabat karib Mbah Kyai Umar. Kyai Abdul Karim punya pendekatan yang berbeda. Saat diberi bisyaroh, beliau menerimanya dengan tersenyum dan berkata lirih, “Menyenangkan hati orang yang memberi, juga bentuk ibadah.”
Dalam hal ini, tidak ada pertentangan prinsip, hanya perbedaan maqam (tingkatan ruhani). Kyai Abdul Karim berpegang pada sabda Nabi ﷺ:
تَهَادُوا تَحَابُّوا
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
Memberi hadiah adalah bagian dari upaya menumbuhkan kasih sayang, selama tidak menuntut balasan atau mempengaruhi sikap spiritual seseorang. Maka, jika seorang alim menerima hadiah dalam rangka menjaga perasaan si pemberi, itu pun tak mengapa, selama hatinya tetap terjaga dari tamak dan harap pada manusia.
Di sisi lain, ada pula sosok seperti Mbah Kyai Hasyim dari utara Magelang. Setiap kali ada yang hendak memberinya sesuatu, beliau menolak dengan tegas dan berkata, “Gak usah, aku wes sugih!” Pernyataan ini tak mengarah pada kekayaan harta, melainkan rasa cukup dalam batin. Qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada, adalah kekayaan sejati. Nabi ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Melalui kisah-kisah ini, kita belajar bahwa keikhlasan itu bukan hanya tentang menolak atau menerima sesuatu, tetapi tentang bagaimana hati terjaga agar tetap lurus menuju Allah. Ada yang menolak karena ingin menjaga kemurnian doa, ada yang menerima karena ingin membahagiakan sesama. Yang penting, keduanya tidak terikat oleh dunia.
Dalam hidup ini, kita sering lupa menjaga hati. Kita senang memberi tapi kadang berharap balasan. Kita suka menerima, tapi tak sadar bahwa harapan-harapan tersembunyi ikut menyelinap. Maka, mari belajar dari para ulama yang hidupnya seperti lentera di tengah malam. Mereka mengajarkan bahwa hidup bukan tentang menerima sebanyak-banyaknya, tetapi tentang menata hati agar tetap tunduk kepada Allah, dalam keadaan apa pun.
Jika suatu saat kita memberi sesuatu kepada seorang alim, janganlah kecewa bila ditolak. Jangan juga bersedih jika diterima tanpa pujian. Sebab yang kita cari bukan ridha manusia, melainkan ridha-Nya. Dan bila kita menjadi penerima, maka lihatlah ke dalam diri: apakah hati ini bergantung kepada pemberian itu, atau tetap bergantung kepada Allah semata?
Karena dalam setiap amplop, bisa saja tersembunyi benih dunia yang menyusup ke dalam ibadah. Dan para wali Allah, lebih takut pada amplop daripada musuh yang terang-terangan menyerang.
Semoga Allah menjaga hati kita. Membersihkan niat kita. Dan menjadikan kita orang yang qana’ah, ikhlas, serta istiqamah seperti para kyai pendahulu kita.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Komentar
Posting Komentar