Beribadah-lah Bukan Hanya Takut Akan Dosa
*Tangga dalam Diri Fajar*
Fajar dulu takut mati.
Setiap malam ia gelisah, membayangkan api neraka, kubur yang gelap, dan malaikat yang menanyai. Ia tak pernah benar-benar paham mengapa harus salat, tapi ia tetap menunaikannya—karena takut.
Takut murka Tuhan. Takut dosa. Takut dihukum.
Ia tak pernah merasa dekat dengan Allah. Yang ia kenal hanyalah aturan dan larangan.
Setiap kali gagal bangun Subuh, ia menangis… bukan karena ia rindu pada Allah,
tapi karena takut dosanya ditambah lagi.
Hingga suatu malam, setelah kehilangan pekerjaan, dan ditinggal kekasih yang sangat ia cintai, Fajar terduduk dalam sunyi.
Tak ada lagi yang bisa ia andalkan. Dunia seperti menarik karpet dari bawah kakinya.
Saat itulah ia mulai berdoa. Tapi berbeda.
Kali ini bukan karena takut, tapi karena *ia berharap*.
“Ya Allah, aku tahu aku banyak salah. Tapi jangan biarkan aku sendiri,” bisiknya, pelan.
Hari-hari berikutnya ia mulai mendekat kepada Allah dengan wajah yang berbeda.
Ia mulai percaya bahwa Allah bukan hanya Hakim, tapi juga Penolong.
Bahwa Dia bukan hanya pemberi hukuman, tapi juga pembuka jalan.
Fajar mulai beribadah bukan lagi karena takut, tapi karena ingin dikuatkan, ingin disembuhkan, ingin dimaafkan.
Ia mulai membaca Al-Qur’an, perlahan. Tak lagi dikejar khatam, hanya ingin mengerti.
Ia tak selalu menangis saat berdoa, tapi kini ia sering diam lebih lama setelah “amin.”
Ada harapan. Ada kerinduan.
Lalu, suatu subuh yang sunyi, di tengah sejuknya sajadah, Fajar menyadari sesuatu.
Ia tidak sedang takut. Ia tidak sedang berharap. Ia… hanya ingin *bertemu*.
Ia tersenyum.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia salat bukan karena takut siksa atau ingin surga.
Tapi karena ia rindu.
Karena ia merasa… dicintai.
Dan di situlah, *cinta mulai menuntunnya*.
Ia mulai membantu orang lain, bukan karena pahala. Tapi karena hatinya tergerak.
Ia mulai menjaga lidahnya, bukan karena takut dosa, tapi karena ia tahu, Allah melihat dan ia tak ingin menyakiti-Nya.
Kini, Fajar bangun bukan karena alarm. Tapi karena jiwanya sudah lebih dulu terjaga.
Tak selalu sempurna, kadang masih jatuh. Tapi ia tahu, ini bukan soal takut atau berharap lagi.
> Ia telah naik—bukan ke surga, tapi ke tingkatan yang lebih tinggi:
> *Cinta yang sadar.*
Komentar
Posting Komentar