Do'a Yang Tak Terkabul

Ketika Doa Tak Dikabulkan Allah


Dalam hidup, kita sering menilai kebahagiaan dari terkabulnya keinginan. Padahal, tidak semua yang kita pinta adalah kebaikan bagi kita. Kadang, justru doa yang tak dikabulkan adalah wujud kasih sayang Allah yang menyelamatkan kita dari hal yang lebih buruk. Itulah pilihan terbaik menurut-Nya.

Sebagian besar manusia memaknai doa sebagai pintu pengabulan. Jika dikabulkan, maka senanglah hati. Jika tidak, muncullah kecewa, resah, bahkan prasangka. Padahal, sejatinya tidak dikabulkannya doa bukan berarti Allah tidak mendengar, apalagi menolak. Ia Maha Mendengar setiap bisikan. Maha Tahu apa yang terbaik. Maka, terkabulnya doa adalah kebahagiaan karena itu keinginan kita, namun tidak dikabulkannya doa seharusnya lebih membahagiakan karena itu pilihan Allah.

Ketika kita memanjatkan doa dan harapan, seringkali yang kita minta adalah hal-hal yang kita anggap baik. Kita ingin sesuatu karena kita menyukainya. Kita menghindari sesuatu karena kita tidak menyukainya. Namun, Al-Qur'an telah memperingatkan bahwa tidak semua yang kita cintai itu baik untuk kita.

اللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Begitu pula sabda Nabi ﷺ yang mengajarkan agar kita tidak tergesa-gesa menyimpulkan bahwa doa kita sia-sia hanya karena belum terkabul dalam waktu yang kita tentukan:

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
"Doa kalian akan dikabulkan selama kalian tidak tergesa-gesa dengan mengatakan: 'Aku telah berdoa namun belum juga dikabulkan.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah inti keimanan: menerima bahwa Allah lebih tahu segalanya. Bahwa setiap doa yang tidak dikabulkan adalah bentuk lain dari kasih sayang. Bisa jadi karena sesuatu yang lebih baik sedang dipersiapkan. Bisa jadi karena permintaan kita itu, jika dikabulkan, akan menjerumuskan kita pada hal buruk. Kita memohon dunia, padahal Allah sedang menjaga akhirat kita.

Dalam kitab Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menyampaikan bahwa ada tiga bentuk pengabulan doa:

1. Dikabulkan langsung sesuai permintaan.
2. Dihindarkan dari musibah yang setara dengan permintaan.
3. Diberikan kelak di akhirat dalam bentuk yang lebih agung.

Artinya, tidak pernah ada doa yang sia-sia. Bahkan diamnya Allah dari permohonan kita, sejatinya adalah jawaban yang paling dalam. Ketika Allah tidak memberi, bukan berarti menolak. Ia hanya sedang menyimpan untuk waktu yang lebih tepat.

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu." (QS. Al-Baqarah: 216)

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita saat doa belum terkabul? Kuncinya ada pada tawakal. Sebuah ketundukan total kepada kehendak Allah. Kita tidak menyerah dalam berdoa, namun tidak pula memaksa-Nya dengan keraguan. Doa adalah ibadah, bukan transaksi. Kita meminta bukan karena Allah tidak tahu, tetapi karena doa mendidik hati kita menjadi tunduk.

الْدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
"Doa adalah inti dari ibadah." (HR. Tirmidzi)

Doa membuat kita sadar bahwa kita lemah, dan Allah Maha Kuat. Doa menghapus keangkuhan, menggugurkan kesombongan. Maka, yang utama dalam berdoa bukanlah hasilnya, melainkan bagaimana kita mendekat kepada-Nya. Jika doa menjadikan kita lebih taat, lebih tenang, lebih berserah, bukankah itu sudah jawaban terbaik?

Salah satu nasihat bijak dari para ulama terdahulu adalah bahwa ketidakterkabulan doa bukanlah tanda buruk, melainkan bisa jadi pertanda cinta. Bayangkan jika setiap doa kita dikabulkan, barangkali kita akan lupa cara bersyukur, atau bahkan menjadi angkuh. Karena itu, Allah mengajari kita makna pasrah yang sesungguhnya.

Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkata:
"Janganlah engkau bersedih jika doamu belum dikabulkan. Tetapi bersedihlah jika engkau tak lagi berdoa."

Karena sesungguhnya, doa adalah bukti bahwa kita masih percaya. Bahwa kita yakin ada kekuatan di luar diri kita. Bahwa kita menggantungkan harapan bukan pada makhluk, melainkan pada Sang Penguasa takdir. Maka, apapun hasilnya, tetaplah bahagia. Karena terkabul atau tidaknya, itu semua tetap dalam wilayah kebaikan.

Allah tidak pernah zhalim. Bahkan ketika menolak, Ia sedang memeluk. Bahkan ketika menahan, Ia sedang mempersiapkan. Bahkan ketika membiarkan kita menunggu, Ia sedang menguatkan.

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya." (QS. Al-Qashash: 68)

Maka, bahagia bukanlah soal terkabulnya doa. Bahagia adalah ketika kita percaya bahwa apa pun keputusan Allah, itu lebih baik daripada semua rencana kita. Bahagia adalah saat kita menyerahkan pilihan kita kepada-Nya tanpa keluh, tanpa syarat, tanpa putus asa.

Sebagaimana Rasulullah ﷺ saat menghadapi segala cobaan, beliau tetap berdoa tanpa pernah menggugat. Saat Taif melemparinya dengan batu, beliau tidak meminta azab bagi mereka, justru memohon hidayah untuk mereka. Doa beliau tidak ditujukan agar keinginannya terjadi, tapi agar kehendak Allah terwujud.

اللَّهُمَّ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ غَضَبٌ عَلَيَّ فَلَا أُبَالِي
"Ya Allah, jika Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak peduli (atas semua ini)." (HR. Thabrani)

Itulah puncak kebahagiaan orang beriman: ketika ridha terhadap keputusan Allah, bahkan lebih dari sekadar menerima. Menerima itu pasif. Ridha itu aktif. Karena ridha adalah keyakinan bahwa apa pun dari-Nya adalah yang terbaik.

Maka, jika doa kita dikabulkan, itu adalah karunia yang membahagiakan karena itu keinginan kita. Namun jika tidak, kita lebih berbahagia karena itu pilihan-Nya. Pilihan Allah pasti lebih baik, lebih sempurna, dan lebih menyelamatkan.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN

Bipolar Dan Kopi

Perkecil Circlemu