Kasih Sayang Pada Anak Yang Sesungguhnya

*PR yang Tidak Pernah Selesai*

Namanya Ziya. Usianya sebelas tahun. Ia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota bersama ibunya yang keras dan selalu ingin Ziya jadi “anak yang membanggakan”. Setiap malam, Ziya duduk mengerjakan PR di ruang tamu, ditemani suara ibu yang terus-menerus mengulang, “Kamu harus bisa. Jangan seperti ayahmu yang gagal.”

Jika Ziya salah menjawab soal, ibunya membentak. Jika nilainya turun, ibunya tak bicara seharian. Kadang, Ziya merasa nilai di kertas lebih penting dari perasaannya sendiri. Ia tidak membenci ibunya—tapi ia tak lagi tahu apakah itu yang disebut kasih sayang.

Suatu sore, Ziya duduk sendirian di teras masjid dekat rumah. Ia memandangi kertas PR yang terlipat. Di sampingnya, Pak Rauf—penjaga masjid yang sudah sepuh—membawa sebotol teh hangat dan tersenyum.

“Sudah sore, tapi kamu masih membawa PR?”

Ziya mengangguk pelan.

“Capek, ya?”

Ziya tidak menjawab. Hanya menunduk. Kemudian perlahan ia bertanya, “Pak Rauf… kalau orang tua marah terus, itu tandanya mereka sayang?”

Pak Rauf diam sejenak. Lalu menjawab lembut, “Kadang iya… kadang tidak. Tapi sayang yang menyakitkan itu bukan sayang yang utuh. Kasih sayang seharusnya membuat hati tenang, bukan luka.”

Ziya mengangkat wajahnya. “Ibu bilang, kalau aku tidak nurut, aku akan dihukum Alloh. Katanya, Alloh juga menghukum orang yang tidak patuh.”

Pak Rauf menatap langit senja. Lalu berkata perlahan, “Ziya… Alloh itu lebih sabar dari siapa pun. Dia tahu kapan manusia lemah, kapan manusia bingung. Dia memberi waktu. Memberi petunjuk. Bahkan kepada orang yang membangkang, Alloh tetap memberi nafas dan rezeki.”

“Tapi kenapa ada neraka, Pak?”

“Karena manusia diberi kebebasan. Neraka bukan cambuk dari Tuhan yang marah, tapi cermin dari pilihan manusia yang terus menolak kasih sayang-Nya. Tapi sampai saat itu, Alloh tak pernah menyerah. Ia tidak kehabisan cara untuk memanggil kita kembali.”

Ziya terdiam. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca.

“Jadi… hukuman itu bukan cara terbaik untuk membuat orang berubah?”

“Bukan. Perubahan butuh sentuhan, bukan cambuk. Butuh pengertian, bukan paksaan. Kekerasan sering muncul karena manusia kehabisan cara. Tapi Tuhan… tidak.”

Malam itu, Ziya mengerjakan PR-nya dengan tenang. Ia tetap merasa takut, tapi hatinya sedikit lebih damai. Di sudut buku catatannya, ia menulis pelan:

“Kasih sayang tidak butuh bentakan. Tuhan tidak pernah kehabisan cara untuk membuatku kembali.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN

Bipolar Dan Kopi

Perkecil Circlemu