The Title is not ready yet
*Ikatan Rantai yang Dianggap Sebagai Pelukan Mesra*
Kadang, hidup mempertemukan kita dengan sesuatu yang terasa seperti belenggu—ikatan yang tampaknya mengekang langkah, membatasi ruang, dan mengunci arah. Tapi benarkah semua yang terlihat seperti rantai itu adalah bentuk penjara? Atau jangan-jangan, kita sedang berada dalam pelukan yang lembut, mesra, dan penuh makna, hanya saja kita terlalu sibuk melawan hingga lupa rasanya dipeluk?
Ada masanya kita merasa lelah dengan rutinitas yang itu-itu saja. Bangun pagi, bekerja, pulang, tidur—dan besok mengulang lagi. Kita mengeluh, "Kok hidup cuma begini?" Padahal di balik ritme itu, ada cinta yang menunggu kita sadari. Ada anak yang menanti kepulangan orang tuanya. Ada pasangan yang diam-diam bersyukur karena masih bisa makan malam bersama. Ada tubuh yang tetap sehat karena disiplin yang kita anggap monoton. Apa yang kita sebut sebagai ‘rantai’ itu, bisa jadi adalah pelukan-pelukan kecil dari kehidupan.
Ada sebuah kalimat bijak: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu." Betapa sering kita salah membaca rasa. Rantai yang terlihat dingin dan keras itu, terkadang sedang memeluk kita erat agar tidak terjatuh. Ia bukan untuk menyiksa, tapi menjaga.
Coba renungkan saat kita sedang duduk meminum teh hangat di sore hari. Gula dalam teh itu tak kita lihat, tapi kita tahu ia ada dari rasa manisnya. Begitu pula kasih sayang Tuhan. Terkadang, kasih itu hadir dalam bentuk aturan yang tidak kita pahami, larangan yang terasa sempit, atau takdir yang terasa berat. Tapi bukan berarti itu tidak berasal dari cinta. Hanya saja, cinta Tuhan seringkali berbicara dalam bahasa yang tidak langsung.
Pernahkah kita berpikir, bahwa keterikatan pada keluarga, kewajiban, atau tanggung jawab, yang kadang terasa membatasi, justru menjadi alasan kita tetap waras? Bahwa keharusan untuk pulang ke rumah membuat kita tidak tersesat terlalu jauh? Bahwa kewajiban untuk shalat, untuk sabar, untuk memaafkan, justru adalah jalan untuk menyelamatkan hati dari hancur?
Rasul pernah bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” Maka jika rantai yang kita rasakan menyakitkan, mungkin bukan rantainya yang salah, melainkan hati yang perlu disembuhkan.
Hidup tidak selalu tentang kebebasan melangkah ke mana pun kita mau. Kadang, yang terbaik justru saat kita memilih untuk terikat—pada doa, pada cinta, pada kebaikan, pada Tuhan. Sebab dalam ikatan itulah kita merasa paling aman. Seperti anak kecil yang tertidur di pelukan ibunya. Ia tak bisa ke mana-mana, tapi di situlah tempat terhangat di dunia.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Jangan buru-buru menilai bahwa semua ikatan adalah jerat. Mungkin itu adalah pelukan, dikirimkan dengan cara yang tidak biasa. Dan dalam setiap pelukan itu, selalu ada kasih yang tak terucap, tapi terasa.
Karena tak semua yang mengikat itu mengekang—ada yang menjaga.***
Komentar
Posting Komentar