Utuhlah Melihat Segala Peristiwa
*Menyadari Peristiwa*
Ada satu titik hening dalam hidup, di mana kita mendadak sadar: tidak semua hal harus diberi reaksi.
Tidak semua peristiwa membutuhkan penilaian. Tidak semua kejadian layak dibebani makna emosional.
Di sanalah kita mulai memahami bahwa dunia tak bergerak untuk merugikan atau menguntungkan kita. Dunia hanya... terjadi.
Kejadian adalah netral. Ia datang seperti hujan turun—tak ada niat baik atau buruk, hanya air jatuh dari langit.
Lalu manusialah yang memaknai: petani bersyukur, pengendara mengumpat. Tapi hujan tetaplah hujan.
Ia tidak pernah punya motif. Sama halnya dengan peristiwa yang menimpa kita, besar maupun kecil.
Ia tidak pernah datang untuk membuat kita menderita atau bahagia. Ia hanya datang. Titik.
Namun kita, manusia, adalah makhluk penafsir. Kita tidak hanya melihat, kita menilai. Kita tidak hanya mendengar, kita menimbang.
Kita tidak hanya mengalami, kita menyimpulkan. Sering kali, kesedihan kita lahir bukan dari kejadian itu sendiri, tetapi dari tafsir kita atas kejadian itu.
Ketika seseorang berkata hal yang menyakitkan, sesungguhnya yang menyakitkan bukan kata-katanya, tetapi keputusan kita untuk membiarkan kata itu masuk dan melukai.
Kita punya pilihan: tak mendengarnya. Bila kita tidak suka melihat keburukan, mengapa kita memaksa mata untuk terus menatapnya?
Bila kita tak ingin mendengar kebisingan, mengapa kita tak menutup telinga dan menikmati senyap?
Dalam kontemplasi yang jernih, kita mulai belajar menerima bahwa sebagian besar kejadian di dunia ini berada di luar kendali kita.
Kita tak bisa mengatur cuaca, perilaku orang lain, atau hasil dari setiap usaha kita. Tapi kita bisa mengatur makna yang kita beri pada semuanya itu.
Kita bisa memilih diam, atau bicara. Bisa memilih mengalah, atau bertahan. Bisa memilih terluka, atau membebaskan.
Mengendalikan reaksi adalah jalan menuju kemerdekaan batin. Karena saat kita berhenti menganggap bahwa dunia harus sesuai dengan keinginan kita, kita berhenti menderita.
Dunia tak lagi menjadi lawan, melainkan cermin. Ia mencerminkan diri kita, bukan menentukan nasib kita.
Akhirnya, menyadari kejadian bukanlah tentang pasrah. Tapi tentang memahami posisi kita di semesta ini: bahwa kita bukan pusatnya.
Bahwa kita adalah bagian kecil dari sebuah tarian besar yang tak selalu bisa kita arahkan. Dan itu tidak apa-apa.
Karena saat kita berhenti ingin mengubah segalanya, kita mulai benar-benar hidup.
Kita tidak lagi kelelahan karena bertarung dengan apa yang tak bisa diubah.
Kita belajar berdamai, bukan dengan kekalahan, tapi dengan kenyataan.
Dan dari sana, lahirlah kekuatan yang paling sejati: kekuatan untuk membiarkan sesuatu terjadi, tanpa harus melabelinya sebagai bencana atau berkah.
Karena dalam sunyi yang netral itu, kita menemukan diri kita sendiri.***
Komentar
Posting Komentar