Cukup Mendengarkan
Hadir Sebagai Penenang Jiwa
Dalam hidup, tidak semua masalah bisa kita selesaikan dengan solusi instan. Ada saat di mana akal tak menemukan jawaban, lidah kelu untuk memberi nasihat, dan tangan terasa tak mampu meraih jalan keluar. Pada kondisi itu, yang paling dibutuhkan bukan kepintaran menyusun kalimat bijak, melainkan kehadiran yang tulus, telinga yang mendengar dengan sabar, dan hati yang hadir tanpa menghakimi. Terkadang, sekadar duduk bersama, mengucap kata yang menenangkan, sudah menjadi penawar luka yang tak terlihat.
Allah Ta’ala telah memberikan contoh dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam. Saat beliau lari dari Mesir karena membunuh seorang laki-laki secara tidak sengaja, beliau mendapati dua perempuan yang kesulitan memberi minum ternaknya. Nabi Musa menolong mereka, lalu dipanggil oleh ayah kedua perempuan itu. Allah menceritakan:
﴿فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لا تَخَفْ﴾
Artinya: “Maka ketika Musa datang kepadanya dan menceritakan kisahnya, dia berkata: ‘Jangan takut.’” (QS. Al-Qashash: 25)
Kalimat singkat “لا تَخَفْ” (jangan takut) mengandung kekuatan luar biasa. Ia adalah bentuk hadirnya jiwa yang menenangkan, meski tidak serta-merta menyelesaikan masalah Musa. Inilah isyarat bahwa menenangkan hati orang lain, meski tanpa memberi solusi konkret, tetap merupakan bentuk pertolongan yang besar.
Rasulullah ﷺ pun mencontohkan hal serupa. Beliau selalu hadir dengan wajah teduh, mendengar dengan penuh perhatian, dan menyambut keluh kesah sahabatnya tanpa tergesa menghakimi. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
إِذَا حَدَّثَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ الْتَفَتَ إِلَيْهِ كُلَّهُ
Artinya: “Apabila seseorang berbicara kepada Rasulullah ﷺ, beliau menoleh seluruh tubuhnya kepadanya (memberi perhatian penuh).” (HR. Tirmidzi)
Perhatian total Rasulullah ﷺ adalah bukti bahwa mendengarkan dengan hati dapat menguatkan seseorang lebih dari sekadar nasihat panjang. Di hadapan beliau, para sahabat merasa dihargai, ditenangkan, dan tidak sendiri.
Kita hidup di zaman serba cepat. Semua ingin jawaban singkat, solusi segera, dan cara praktis menyelesaikan masalah. Namun, manusia sering lupa bahwa tidak semua luka jiwa bisa diobati dengan logika. Kadang, yang diperlukan hanyalah hadirnya seorang sahabat yang mampu menenangkan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Barang siapa melepaskan satu kesulitan seorang mukmin dari kesulitan dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Melepaskan kesulitan bukan selalu berarti menyelesaikan masalah secara materi. Kadang, sekadar membuat seseorang merasa lebih tenang dan tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi ujian hidup, sudah termasuk bentuk menolong yang agung.
Al-Qur’an juga menyinggung peran kata-kata yang menenangkan. Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit.” (QS. Ibrahim: 24)
Kalimat yang baik adalah kata-kata yang menyejukkan, yang mampu menanamkan harapan, bukan justru menambah luka. Maka, jangan remehkan ucapan sederhana seperti “saya di sini bersamamu” atau “jangan takut, Allah bersamamu.” Ucapan itu bisa menjadi pohon yang meneduhkan di hati yang gersang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang tengah menghadapi musibah, tekanan hidup, atau kebingungan. Kita mungkin tidak mampu membayar utangnya, menyembuhkan sakitnya, atau mengembalikan orang yang telah hilang darinya. Namun kita bisa hadir, mendengarkan ceritanya tanpa menyela, memeluknya dengan empati, atau sekadar menemani agar ia tidak merasa sendiri.
Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Seorang mukmin itu adalah saudara bagi mukmin lainnya. Ia menasihatinya saat lalai, menenangkannya saat resah, dan menguatkannya saat lemah.” Pesan ini menjadi pengingat bahwa kehadiran kita untuk menenangkan orang lain merupakan bagian dari iman dan tanda ukhuwah sejati.
Allah pun memuji orang-orang yang mampu menghadirkan ketenangan bagi sesama. Firman-Nya:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya: “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71)
Maka, jadilah penolong yang menghadirkan ketenangan. Meski kita tidak mampu memberi jawaban atas semua masalah, kehadiran yang tulus sudah cukup menjadi cahaya di tengah kegelapan jiwa orang lain.
Sebagaimana pelajaran dari Nabi Musa, sebuah kalimat singkat “لا تَخَفْ” (jangan takut) bisa menjadi penguat yang mengubah rasa takut menjadi rasa aman. Begitu pula dalam keseharian kita, kata yang tulus dan hadirnya hati bisa menjadi hadiah terbesar untuk orang yang sedang gundah.
Hidup ini terlalu singkat untuk saling menghakimi. Maka, bila tak mampu menyelesaikan masalah orang lain, cukup hadir dan tenangkanlah dengan hadirmu. Itu pun sudah bernilai ibadah di sisi Allah.
Komentar
Posting Komentar