Jangan Mengjudge Orang dari Luarnya Saja
Menilai Tanpa Mengadili Sesama Hamba
Kita sering tergoda untuk menilai seseorang hanya dari penampilan lahiriah atau kabar yang sampai ke telinga kita. Namun, Al-Qur’an dan hadis mengajarkan agar kita berhati-hati, karena penilaian manusia terbatas, sedangkan Allah mengetahui rahasia hati. Buruk menurut pandangan manusia belum tentu buruk menurut Allah, dan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap berjumpa dengan kenyataan bahwa manusia mudah sekali terjebak pada prasangka. Pandangan mata hanya mampu melihat kulit luar, bukan isi hati. Maka wajar jika Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan umatnya agar tidak terburu-buru menghakimi. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kemuliaan bukanlah wajah tampan, tubuh indah, atau harta melimpah, melainkan hati yang bersih dan amal yang ikhlas. Artinya, bila kita menilai orang hanya dari penampilan, kita sedang mengabaikan standar Allah.
Al-Qur’an pun mengingatkan agar kita tidak larut dalam menilai dengan kacamata manusia semata. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini menjadi pedoman bahwa menilai boleh, tapi jangan sampai berubah menjadi vonis atau prasangka buruk. Kita boleh menilai untuk kehati-hatian, namun mengadili hati orang lain adalah hak Allah semata.
Ada kisah dalam sirah Nabi yang menggambarkan hal ini. Pada suatu waktu, seorang sahabat bernama Usamah bin Zaid membunuh musuh dalam pertempuran meski musuh itu sempat mengucapkan kalimat syahadat. Ketika peristiwa itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, beliau marah dan menegur Usamah dengan sabda:
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ أَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟
“Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi menegaskan, Usamah tidak berhak mengadili isi hati orang itu. Hanya Allah yang mengetahui apakah syahadatnya jujur atau tidak. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bahwa manusia tidak boleh melangkahi kewenangan Allah dalam menilai keimanan seseorang.
Di sisi lain, kita sering lupa bahwa kebaikan manusia di mata Allah kadang tersembunyi di balik amal kecil yang dianggap sepele oleh sesama manusia. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْبَرَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Betapa banyak orang yang rambutnya kusut, berdebu, dan diusir dari pintu rumah orang kaya, namun jika ia bersumpah demi Allah, niscaya Allah kabulkan.” (HR. Muslim)
Hadis ini memberi isyarat bahwa seseorang yang dipandang hina oleh manusia, bisa jadi sangat mulia di sisi Allah. Maka betapa kelirunya kita bila memvonis hanya dari luaran.
Kita juga belajar dari kisah seorang wanita pezina yang memberi minum seekor anjing kehausan. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Allah mengampuni dosa wanita itu karena amal kecil yang lahir dari rasa belas kasih. (HR. Bukhari dan Muslim).
Di mata manusia, ia hina karena maksiatnya. Tetapi di sisi Allah, satu amal tulus bisa menjadi penyebab ampunan.
Sebaliknya, ada pula manusia yang tampak mulia di mata orang banyak, tetapi justru celaka di sisi Allah karena hatinya kotor. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ memperingatkan:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia, padahal dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menakutkan sekaligus mengingatkan bahwa penampilan amal bisa menipu. Seseorang bisa terlihat saleh, rajin ibadah, fasih bicara agama, namun bila hatinya sombong dan riya, maka Allah mengetahui dan membalas sesuai hakikatnya.
Karena itu, jalan terbaik bagi kita adalah menahan diri dari menghakimi. Menilai boleh, tapi sebatas lahiriah. Hati orang lain serahkan kepada Allah. Bahkan, Nabi ﷺ mengajarkan doa yang indah:
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami rezeki untuk menjauhinya.”
Doa ini mencerminkan kerendahan hati bahwa manusia tidak selalu mampu melihat dengan jernih. Kita memohon kepada Allah agar pandangan kita tidak menipu, dan agar kita tidak gegabah mengadili orang lain.
Maka, jika ada orang yang tampak buruk di mata kita, berhentilah sejenak. Ingatlah bahwa Allah mungkin sedang menutupi aibnya, atau mungkin Allah menyiapkan taubat yang membuatnya lebih mulia dari kita. Begitu pula, bila ada orang yang tampak sangat baik, jangan terburu-buru menempatkannya di atas segalanya, karena hanya Allah yang tahu isi hatinya.
Kesadaran ini membawa kita kepada sikap tawadhu. Alih-alih sibuk menilai, lebih baik sibuk memperbaiki diri. Nabi ﷺ bersabda:
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ
“Beruntunglah orang yang kesibukan memperbaiki aib dirinya menghalanginya dari mengurusi aib orang lain.” (HR. Al-Baihaqi)
Inilah kunci kedamaian hati. Kita boleh menilai sekadar untuk waspada, tapi jangan berubah menjadi hakim atas hidup orang lain. Buruk di mata kita bisa jadi mulia di sisi Allah, dan yang tampak baik bisa jadi sebaliknya. Karena itu, mari terus memperbaiki diri, berdoa agar Allah menjaga hati kita dari kesombongan, serta menumbuhkan kasih sayang kepada sesama hamba.
Komentar
Posting Komentar