Ketika Allah Membiarkan

Saat Allah Membiarkan Kita


Ada musibah yang jauh lebih besar dari sekadar sakit, kehilangan harta, atau sempitnya rezeki. Ia datang tanpa suara, tanpa tanda gemuruh, namun dampaknya menggetarkan kehidupan akhirat. Musibah itu adalah ketika Allah mulai membiarkan kita. Ketika hati tak lagi gelisah saat lalai dari ibadah, dan kita merasa semua baik-baik saja.

Ada sebuah peringatan yang sering kita abaikan, bahkan mungkin kita tidak menyadarinya. Saat hidup terasa lancar, rezeki datang deras, tawa mengiringi hari-hari, kita mengira itulah tanda cinta Allah. Padahal bisa jadi itu adalah bentuk istidraj, yaitu kelapangan yang justru menjerumuskan kita karena kita menjauh dari Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ»
“Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba padahal ia terus bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj.” (HR. Ahmad)

Bayangkan, kita dulu bergetar mendengar adzan. Begitu muadzin menyeru, kita tinggalkan segala urusan untuk memenuhi panggilan Rabb. Namun kini, adzan hanya lewat di telinga, tanpa ada getar di dada. Kita masih duduk, bahkan mungkin rebah sambil menatap langit-langit kamar. Kita mengira ini sekadar rasa malas, padahal hakikatnya lebih dalam: hati kita sedang keras, dan itu musibah yang sangat besar.

Allah ﷻ berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
"Maka celakalah bagi orang-orang yang hatinya keras terhadap peringatan Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata." (QS. Az-Zumar: 22)

Hati yang keras tidak lagi tersentuh oleh peringatan. Adzan tidak memanggilnya. Ayat-ayat Al-Qur'an hanya menjadi lantunan tanpa makna. Doa terasa hambar. Bahkan shalat pun menjadi beban. Jika ini terjadi, jangan menganggapnya ringan, sebab inilah musibah sejati: Allah tidak lagi menegur kita dengan rindu.

Padahal, rasa gelisah saat lalai, rasa bersalah ketika meninggalkan shalat, itulah tanda Allah masih peduli. Namun ketika dosa terasa biasa, ketika lalai dianggap wajar, itu tanda kita sedang jauh, sangat jauh. Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا»
"Seorang mukmin memandang dosanya seakan-akan ia berada di bawah gunung yang ia takut akan menimpanya. Sedangkan orang fajir memandang dosanya seperti lalat yang lewat di hidungnya, lalu ia mengusirnya begitu saja." (HR. Bukhari)

Jika kita sudah tidak merasa takut dengan dosa, sudah tidak peduli dengan panggilan shalat, dan merasa hidup tetap baik-baik saja, maka itu bukan nikmat. Itu adalah ujian yang paling mengerikan: dibiarkan.

Ingatlah, musibah sejati bukanlah kemiskinan, bukan pula penyakit. Musibah sejati adalah ketika Allah cabut hidayah dari hati kita. Karena dunia yang kita kejar tidak akan mengisi kekosongan jiwa. Sebab jiwa yang lapar tidak butuh hiburan, tetapi butuh sujud. Sebab dalam sujud ada ketenangan. Dalam zikir ada kehidupan. Allah ﷻ berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra’d: 28)

Jangan biarkan hati mati dalam kelalaian. Jangan biarkan Allah membiarkan kita. Bangunlah sebelum terlambat. Sambut panggilan adzan dengan cinta, bukan dengan berat hati. Karena siapa yang menjaga shalat, maka ia menjaga imannya. Dan siapa yang meremehkannya, ia sedang berjalan menuju kehancuran.

Rasulullah ﷺ bersabda:
«الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
"Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, sungguh ia telah kafir." (HR. Tirmidzi)

Saudaraku, jika hari ini adzan kembali berkumandang, jangan biarkan hati tetap kosong. Berdirilah. Basuh wajah dengan wudhu. Hadirkan Allah dalam sujud. Sebelum Allah benar-benar membiarkan kita… Karena ketika Allah sudah membiarkan, semua yang kita miliki tidak akan pernah mampu mengisi ruang hampa di jiwa.

Kesimpulan:
Hidup ini bukan tentang banyaknya dunia yang kita kumpulkan, tapi tentang seberapa sering kita memenuhi panggilan Rabb. Jangan tunggu sampai hidayah pergi. Jangan tunggu sampai hati mati. Karena musibah sejati bukan kehilangan dunia, tapi kehilangan rindu kepada Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN

Bipolar Dan Kopi

Perkecil Circlemu