Melihat Bagaimana Jalan Hidup Seorang Sufi
Rumus Sufi Seni Berserah
Hidup manusia tidak pernah lepas dari ikhtiar dan takdir. Kita sering merasa gelisah ketika berusaha mengendalikan sesuatu yang sejatinya berada di luar jangkauan kita. Kegelisahan itu lahir karena hati ingin memaksa takdir agar sejalan dengan keinginan. Padahal semakin kuat manusia menekan sesuatu yang tidak bisa dikuasai, semakin jauh ia dari ketenangan.
Para sufi mengajarkan keseimbangan hidup dengan satu rumus sederhana: kendalikan apa yang bisa dikendalikan, lalu berserahlah sepenuhnya kepada Allah untuk apa yang tidak mungkin dipegang manusia. Kendali itu meliputi pikiran, ucapan, perbuatan, niat, dan doa. Itulah ladang yang Allah titipkan kepada kita untuk dikelola. Setelah benih usaha ditanam, jangan biarkan hati terikat pada hasil, sebab buah dari usaha tidak ditentukan oleh tangan manusia, melainkan oleh kehendak Allah.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى﴾ (النجم: 39-41)
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An-Najm: 39-41)
Ayat ini menegaskan bahwa ikhtiar adalah wilayah manusia. Namun, hasil akhirnya adalah balasan dari Allah. Maka, manusia hanya berhak menempuh jalan usaha tanpa berhak memaksakan buahnya.
Sementara itu, perkara-perkara seperti rezeki, masa depan, sikap orang lain, dan perubahan keadaan adalah wilayah Allah. Bersikeras menguasai hal-hal di luar kendali hanya akan menambah lelah. Nabi ﷺ bersabda:
﴿لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا﴾ (رواه الترمذي)
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan keseimbangan: burung tetap berusaha terbang mencari makan, tetapi ia tidak pernah membawa bekal kecuali keyakinan pada rezeki Allah. Itulah hakikat rumus sufi: usaha tanpa kesombongan, pasrah tanpa kemalasan.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang terjebak dalam dua ekstrem. Pertama, mereka yang hanya pasrah tanpa usaha, lalu menyalahkan takdir ketika kegagalan datang. Kedua, mereka yang berusaha keras sampai melupakan Allah, lalu terjatuh dalam kesombongan karena merasa segalanya hasil jerih payah dirinya sendiri. Kedua sikap ini sama-sama membawa kepada kegelisahan dan jauh dari ketenangan.
Seorang hamba seharusnya menempuh jalan tengah sebagaimana diajarkan para sufi. Mereka menanam dengan penuh kesungguhan, tetapi hati mereka tetap ringan ketika hasil berbeda dari keinginan. Mereka bekerja sebaik mungkin, tetapi tidak menggantungkan kebahagiaan pada hasil duniawi. Mereka bersabar dalam doa, yakin bahwa Allah mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
﴿وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾ (البقرة: 216)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini adalah pilar utama bagi hati yang ingin berserah. Apa yang tidak kita sukai bisa jadi adalah jalan terbaik menuju kebahagiaan akhirat. Sebaliknya, apa yang kita cintai bisa jadi menjadi sebab kebinasaan. Maka, seorang sufi menaruh penuh percaya kepada kebijaksanaan Allah, bukan pada pandangan terbatasnya sendiri.
Ketenangan jiwa lahir ketika manusia sadar bahwa ia hanyalah hamba. Hamba tidak memiliki daya tanpa izin Allah, tidak punya kuasa selain dari yang dititipkan. Dengan kesadaran ini, manusia berhenti memaksa dunia mengikuti kehendaknya. Ia cukup menunaikan tugas, lalu menyerahkan buahnya kepada Allah.
Di sinilah rahasia kedamaian: menerima dengan lapang dada, tetapi tidak berhenti berusaha. Para sufi menyebutnya ridha, yakni keadaan hati yang tenang terhadap segala ketentuan Allah setelah berusaha dengan sepenuh kemampuan. Ridha tidak berarti pasif, tetapi aktif dalam ikhtiar lalu tenang dalam pasrah.
Rumus sufi yang sederhana ini ternyata begitu dalam: usaha tanpa kesombongan, pasrah tanpa kemalasan, hidup seimbang tanpa beban berlebihan. Inilah seni mengendalikan diri sekaligus berserah kepada Tuhan. Dengan rumus ini, hidup tidak lagi terasa berat meskipun tantangan datang silih berganti.
Seorang sufi berjalan di dunia dengan penuh ketenangan. Kakinya berpijak di bumi, tetapi hatinya tetap tertambat pada Allah. Ia bergaul dengan manusia, bekerja, berdagang, membangun, tetapi jiwanya tidak terikat pada hasil duniawi. Ia hanya mengharap ridha Allah. Inilah jalan yang menuntun manusia menuju cahaya iman yang menenangkan.
Komentar
Posting Komentar